Genderang tabu yang ditiupkan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi telah diputuskan oleh DPR malam tadi setelah melakukan rapat
paripurna yang cukup alot dari pakul 13.30 WIB hingga dapat mengambil
keputusan pada pukul 01.00 WIB dinihari. Rapat paripurna ini juga
diwarnai walk out yang dilakukan Fraksi Partai Hanura dan
Fraksi PDI-Perjuangan yang ‘merasa’ tidak dihargai lagi pada saat
paripurna berlangsung, sehingga rapat pun harus dilakukan dengan voting
terbuka karena tidak dapat memperoleh hasil musyawarah bersama. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memutuskan untuk ‘menunda’ kenaikan BBM
bersubsidi. Mengapa menunda? Pasalnya, DPR memutuskan untuk ‘menyelipkan’ ayat 6a dalam pasal 7 ayat 6. Ketua
DPR Marzuki Alie Jumat Malam (30/3/2012) telah mengesahkan RAPBN-P 2012
menjadi APBN-P 2012 dimana opsi 2 yang ‘menyelipkan’ ayat 6a menjadi
bagian didalamnya.
Pasal 7 ayat 6a berisi poin “Dalam hal rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil/ICP) dalam hal ini bisa mengalami kenaikan atau mengalami penurunan 15% secara rata-rata dalam waktu 6 bulan maka pemerintah dapat menyesuaikan harga BBM”.
Dari pasal tersebut sangat tegas menyatakan, apa yang terjadi kedepan maka kenaikan BBM bergantung kepada harga minyak mentah Indonesia. Asumsi dalam APBN-P 2012, ICP ditetapkan sebesar US$ 105 per barel. Berarti jika rata-rata selama 6 bulan ICP mencapai US$ 120,75 maka BBM bisa naik menjadi Rp 6.000 per liter.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, ICP rata-rata untuk 6 bulan
ke belakang dari saat ini adalah US$ 116,49 per barel dengan rincian ICP
:
* Oktober 2011 US$ 109,25 per barel,
* November 2011 US$ 112,94 per barel,
* Desember 2011 US$ 110,70 per barel,
* Januari 2012 US$ 115,90 per barel,
* Februari 2012 US$ 122,17 per barel, dan
* Maret 2012 US$ 128 per barel.
Dengan realisasi harga itu, maka dalam 6 bulan ini kenaikan rata-rata
ICP masih 10,94% dibandingkan asumsi harga minyak yang ditetapkan
pemerintah dalam RAPBN-P 2012 sebesar US$ 105 per barel. Jadi, masih di
bawah 15%, sehingga pemerintah belum bisa menaikkan harganya.
Sebenarnya pasal yang baru saja diketok oleh DPR tersebut bertentangan
dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara. Sehingga tidak bisa diserahkan ke harga pasar. Negara harus
menentukan sendiri harganya, tidak boleh berpatokan terhadap pasar. Itu
merupakan pendapat dari ahli hukum Tata Negara, Margarito. Kasus seperti
ini juga pernah terjadi dan dimenangkan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 21 Desember 2004 yang menyatakan pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Migas
batal. Pengujian UU Migas ini terhadap UUD 1945 bernomor perkara
002/PPU-I/2003, di mana pemohon judicial review adalah Asosiasi
Penasihat Hukum dan Hak Azazi Manusia Indonesia (APHI), BPHI, Yayasan
324, Solidaritas Nusa Bangsa, Serikat Pekerja Pertamina, dan Panji R
Hadinoto yang mewakili Universitas Perjuangan ’45.
Pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Minyak dan Gas (UU Migas) itu sendiri berbunyi ‘Harga
bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial
pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu’.
Dengan logika yang hampir ‘mirip’ dengan penambahan pasal 7 ayat 6a
UU APBN-P diatas, maka ada harapan bagi rakyat Indonesia untuk dapat
melihat harga BBM bersubsidi untuk tidak naik tahun 2012 ini. Namun bila
ternyata setelah diajukan gugatan ke MK dan MK memutuskan menolak
gugatan tersebut, Pemerintah bisa saja menaikkan harga
BBM bersubsidi setelah tanggal 31 Agustus 2012 dalam hal harga ICP lebih
dari US$ 120,75 per barel. Tentu saja keputusan paripurna DPR yang
terhormat Jumat Malam tadi secara tersirat ‘mengamini’ kenaikan BBM
bersubsidi, tinggal menunggu waktu dan perkembangan harga minyak dunia
saja. Kalau rapat paripurna kemarin tidak menyisipkan pasal 7 ayat 6a,
rakyat setidaknya tidak mengalami kenaikan harga BBM bersubsidi untuk
tahun 2012. Hal inilah yang disuarakan oleh Fraksi PDI-Perjuangan,
Gerindra, Hanura, dan PKS yang menolak adanya pasal tambahan tersebut
walaupun pada saat voting terbuka Fraksi Hanura yang diikuti Fraksi
PDI-Perjuangan abstain karena walk out.
Dengan adanya suara Fraksi PKS yang menolak dengan tegas kenaikan
harga BBM bersubsidi -tidak ada tambahan pasal 7 ayat 6a-, membuat
posisi PKS di koalisi pemerintahan rawan. Berada di pemerintahan tetapi
menolak usulan pemerintah. Usulan mendepak PKS dari koalisi pemerintah
semakin kencang didengunkan. Tinggal saja SBY yang memutuskan apakah
berani ‘meng-kick‘ PKS dari koalisi atau tidak. Jika berani
‘mengusir’ PKS dari koalisi, tentu saja jabatan Menkominfo, Menteri
Sosial dan Menteri Pertanian akan lowong karena sekarang dijabat oleh
kader PKS. Tapi dengan melihat posisi tawar PKS yang tinggi baik di
parlemen maupun di pemerintahan, rasanya SBY belum kuat untuk meng-kick PKS dari koalisi pemerintah.
Jika di Indonesia ramai soal BBM menyusul kebijakan pemerintah yang
ingin menaikkan harga BBM bersubsidi karena naiknya harga minyak mentah
internasional, di negeri tetangga situasi serupa tidak terjadi. Di
Malaysia, pemerintah negara jiran tersebut justru mengambil kebijakan
mempertahankan subsidi terhadap bahan bakar minyaknya.